Psikolog Sekolah Cikal: Ini 3 Rekomendasi Penyelesaian Isu Wisuda TK-SMA

wisuda-tk-sd

Jakarta – pantiasuhan-hidayah – Beberapa waktu lalu ramai diperbincangkan terkait pelaksanaan wisuda jenjang TK-SMA yang dianggap memberatkan serta menghilangkan makna atau esensi wisuda sebenarnya untuk jenjang pendidikan tinggi.

Tentu muncul pro dan kontra soal pelaksanaan wisuda bagi TK-SMA. Karena itu dibutuhkan solusi agar isu tersebut bisa selesai.

Psikolog Anak dan Keluarga yang juga merupakan Head of School Cikal, Tari Sandjojo M.Psi, Psikolog memberikan pandangannya terkait itu wisuda TK-SMA.

Menurut dia, pada dasarnya pencapaian anak sebagai individu itu patut untuk dibenarkan atau diakui oleh orangtua karena hal tersebut menjadi bukti dari pengembangan diri anak.

Dari titik itulah, menghadirkan kegiatan atau event apresiasi berbentuk wisuda setelah masa pembelajaran anak tersebut selesai di satu jenjang pendidikan.

Rekomendasi psikolog sekolah Cikal
Sebagai Pendidik dan Psikolog, Tari menyampaikan 3 rekomendasinya terhadap isu wisuda TK-SMA yang kini berada di tengah masyarakat, yakni:

1. Setiap sekolah perlu merefleksikan ulang makna wisuda bersama orangtua murid.

Dengan isu penghapusan wisuda sebagai bentuk selebrasi kelulusan di jenjang TK-SMA oleh publik, dalam hal ini, Tari merekomendasikan masing-masing sekolah bersama orangtua dapat melakukan diskusi bersama terkait acara wisuda anak.

Apakah itu untuk anak sebagai subjek pendidikan, untuk sekolah atau untuk orangtua.

Jika merefleksikan anak sebagai subjek pendidikan, maka pertanyaannya wisuda ini untuk siapa? Jawabannya tentu harusnya ini buat anak-anak.

Dengan melihat anak-anak senang dan mau sesusah apapun itu selebrasi luar biasa, maka sekolah akan provide dan dukung acara itu.

“Jadi, dalam konteks ini, balik lagi, semua event, approach, dan program sekolah, pertanyaannya adalah ini buat siapa? Kalau dalam tingkatan pemenuhan kebutuhan ya, itu murid dulu. Ini yang perlu digaris bawahi,” ungkap Tari dalam keterangan tertulisnya, Senin (17/7/2023).

2. Setiap sekolah perlu merefleksikan kembali pengelolaan biaya wisuda jenjang TK-SMA jika tetap ingin dihadirkan.

Dalam konteks biaya wisuda yang menjadi perbincangan publik karena memberatkan, Tari dalam hal ini tidak menanggapi terlalu banyak dan hanya menyebutkan bahwa jasa atau pelayanan yang diberikan merata kepada semua murid seharusnya dapat didukung oleh sekolah.

“Suatu jasa atau services yang diberikan merata kepada semua murid harusnya di-provide oleh sekolah. Atau kalau memang bayar, sekolah dapat memberitahukan apa saja yang harus dibayar di awal dan pemetaan penggunaannya harus direfleksikan lagi. Saya tidak dapat berkata banyak karena masing-masing sekolah memiliki kebijakan yang berbeda,” terang dia.

3. Setiap sekolah perlu menyesuaikan kembali cara selebrasi kelulusan sesuai jenjangnya dengan kunci utamanya tidak berlebihan.

Setelah merekomendasikan dua hal di atas, satu rekomendasi lagi yang disampaikan Tari yakni penyesuaian cara atau bentuk selebrasi kenaikan jenjang atau kelulusan yang diselenggarakan oleh sekolah.

Setelah sekolah sudah merefleksikan tujuan dari acara selebrasi itu untuk murid, maka selanjutnya adalah penyesuaian jalurnya dan alurnya.

Misalnya Prasekolah butuhnya seperti apa? Mereka butuh a warm environment, intimate event.

“Di Cikal misalnya saat moving up ceremony Pre-kindie, kami menggelar acaranya itu tidak di gedung tetapi di sekolah, acaranya tetap informal tapi warm. It is how the vibes yang kita buat sesuai level. Kita sesuaikan acaranya dengan konteks level anak-anak,” jelasnya.

Dari seluruh penjelasan Tari, ia pun menutup dengan penjelasan bahwa sebenarnya momen selebrasi kenaikan level anak di jenjang pendidikan yang ia jalankan atau kelulusan anak itu tidak salah untuk dirayakan atau diabadikan.

Hal yang menjadi salah dan menjadi kontroversial saat ini adalah cara menjalankan dan menampilkannya.

“Bagi saya, selebrasinya itu tidak salah, mungkin showcase-nya yang salah. Selebrasi anak atas pencapaiannya yang diraih tidak salah. Sekolah mau membentuk cara selebrasi seperti apa itu lah yang harus dipikirkan,” katanya.

“Sederhananya tepuk tangan itu sebuah selebrasi. Tapi kalau sekolah memilih selebrasi berlebihan dengan pakai toga dan lain sebagainya itu yang perlu direviu. Sekolah bisa belajar konsekuensi sosialnya. Jadi, akhirnya, jawab dulu pertanyaan pertama, kegiatan selebrasi ini buat siapa. And then everything fall into places based on the answers,” tutup Tari Sandjojo.

Author: mcbjp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *